A.
Penduhuluan
Sistem pemerintahan di Papua sudah berlangsung jauh sebelum Papua menjadi
bagian NKRI dengan bentuk pemerintahan tradisional. Bentuk pemerintahan politik
tradisional yang dikenal di Papua yaitu sistem kerajaan dan Ondoapi. Sistem kerjaan
terdapat pada daerah transisi budaya mulai dari pesisir Barat Kepala Burung
sampai di sebelah pantai selatan Papua. Etnik yang masuk sistem kerajaan adalah
suku Moi, Ma’ya, Matbat, Beser atau Biak, Kawe, Siam, Kalabra, Inanwatan,
Sekar, Iha, Baham, Iraratu, Kowiai, Mairasi dan Mimika. Sedang sistem ondoapi dianut oleh suku Skou,
Arso-Waris, Tobati, Ormu, Sentani, Moi, Tabla, Nimbora, dan Muris (Mansoben,
1995: 179).
Sedangkan struktur pemerintahan tradisional di Papua berdasarkan sistem
kepemimpinan Pria Berwibawa (Big man), sistem politik ondoapi dan sistem
kerajaan. Pola kepemimpina tradisional sampai saat ini masih berlangsung
walaupun sebagian mengalami pergeseran sesuai arus perubahan dan tuntutan
zaman.
B.
Perumusan Masalah
Banyaknya sistem pemerintahan politik tradisional di Papua menimbulkan
berbagai masalah yang kadang bertentangan dengan sistem pemerintahan formal.
Pertanyaan yang akan dibahas adalah:
1.
permasalahan apa saja yang ditimbulkan oleh
pemerintahan politik trasidional?
2.
Apakah sistem pemerintahan tradisional masih
relevan saat ini?
C.
Analisa
Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua, salah
satu kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar
masyarakat Papua. Keberadaan pemimpin tradisional juga diakui dan diatur dalam
pasal... UU Otsus No. 21 Tahun 2001. Pengakuan kepemimpinan tradisional
(sekarang disebut kearifan lokal) menjadi bukti pengakuan bahwa Papua sama
kedudukannya dengan Jawa(Sultan di DIY dan di Solo).
Keberadaan pemerintahan politik tradisional (informal) seperti kepala
suku penting dalam memelihara kebersamaan yang damai di dalam masyarakat
mereka. Para kepala suku masih didengarkan dan dihormati dengan baik di antara
akar rumput. Kesetiaan kesukuan di dalam kerangka primordial membentuk
hubungan-hubungan di antara orang asli Papua dan membangun identitas bersama
sebagai anak adat Papua.
Kepemimpinan yang kharismatik dari para kepala suku ini memberikan
kekuasaan untuk mempengaruhi dan di dalam beberapa kasus, menggerakkan
masyarakat mereka (Yulia, 2008: 18).
Namun, berbagai masalah dalam kepemimpinan tradisional sering muncul dan
belum menjadi perhatian serius dari masing-masing pemimpin. Pertama, Gaya kepemimpinan tradisional
yang menempatkan kepentingan etnis seseorang di atas masyarakat umum diikuti
oleh kurangnya kapasitas professional dalam mengelola pemerintahan yang sarat
dengan hal-hal yang berorientasi proyek dari pada yang bermanfaat bagi publik. Kedua, Ruang untuk membelokkan dana
publik berkaitan erat dengan tata cara penyampaian dana Otsus yang menentukan
kualitas pengawasan dan transparansi yang masih lemah. Ketiga, belum terlihat koordinasi, baik manajerial dan program,
antara propinsi, kabupaten sampai tingkat pedesaan perlu dibangun dan
dipelihara. Keempat, terdapat
indikasi krisis legitimasi dalam kepemimpinan informal yang disebabkan oleh
perpecahan dan afiliasi para pemimpin informal. Perpecahan afiliasi kepemimpinan
tradisional menyebabkan kerancuan di kalangan akar rumput karena sebenarnya
posisi kepala suku merupakan status bawaan sebagai hasil warisan antar generasi
sebagai orang yang berada di garis depan, para kepala suku sering dipakai untuk
mengalirkan dan menyebarkan informasi tertentu termasuk indoktrinasi dari
pihak-pihak yang berkepentingan atau para pengusaha konflik dalam rangka
membangun opini publik.
Penting mengembangkan kesadaran terhadap konteks tertentu bagi para
kepala suku sehingga mereka dapat bertindak secara aktif dan tidak melihat
mereka sebagai obyek manipulasi; hal tersebut akan membuat mereka aktif secara
berkontribusi secara positif.
Secara umum, koordinasi lebih jauh di tingkat elit tetap menjadi agenda
yang perlu diadakan. Perlu ada mekanisme atau peraturan mengenai koordinasi
antar departemen pemimpin tradisional dan badan pemerintah; MRP, DPRD dan
Gubernur. Perda Provinsi Papua No. 4/2005 mengenai mekanisme pengangkatan
anggota MRP harus diikuti dengan Perda-perda / Perdasus yang menguatkan
keberadaan pemimpin politik tradisional. Hambatan pelaksanaan Otsus timbul dari
ketiadaan kerangka kebijakan administratif (Perda dan Perdasus) yang seharusnya
telah ditetapkan paling tidak dua tahun sesudah Otsus. Peningkatan kapasitas
badan-badan Pemerintah perlu dilakukan untuk membuat Perda dan Perdasus sebagai
tindakan tegas dan nyata dalam melindungi hak-hak penduduk asli Papua.
Akhirnya, rekomendasi yang harus diperhatikan agar pemerintahan politik
tradisional di Papua masih diperlukan dan perlu diformalkan dengan
memperhatikan hal berikut:
a.
Perlu pelindungan terhadap masyarakat hukum adat
beserta kearifan lokal. Pemerintah dan DPR perlu segera merumuskan UU
sebagaimana diamanatkan oleh Psl 18B (2) UUD 1945.
b.
Berdasarkan UU No. 21 / 2001 tentang Otsus Papua,
Pemda dan DPRD perlu merumuskan dan membentuk PERDA yang dapat menjamin
perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat.
c.
Pemerintah perlu melakukan inventarisasi hukum
adat dan hak tradisional yang masih ada saat ini sebagai bahan pembentukan
hukum ke depan.
D.
PENUTUP
Pemerintahan
tradisional di Papua sangat mendukung pemerintahan formal. Maka perlu
diperhatikan eksistensinya dengan menjadikan pemerintahan tradisional sebagai
komponen pembangunan. Pemerintahan tradisional baik kerajaan, big man atau
ondoapi harus dimuat dalam hukum formal sehingga mempunyai kedudukan hukum yang
sah.
Daftar Pustaka:
Joszua Robert Mansoben. Sistem
Politik Tradisional di Irian Jaya. Seri terbitan LIPI, 1995.
Yulia Sugandi. Analisis
Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua. Friedrik Ebert Stiftung,
Jakarta, 2008.
0 komentar:
Posting Komentar